Gas behamburan keluar berlomba dari cerobong pabrik yang tak terurus. Suara bising saringan knalpot menambah penat siang yang terik. Beberapa buruh istirahat tak tenang menunggu jam bekerja mulai lagi. Hari itu ditepi jalan yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan tak teratur, aku masih disini, memandang nasib yang kentara sekali tak terlalu indah.
Udara sejuk kuhirup dari ramuan alam yang terhantar bersama sepoi angin pegunungan yang berhembus lembut membelai rambut panjang hitamku. Kata nenek rambut itu mahkotaku yang harus terjaga keindahannya. Hari ini aku tak perlu pergi keruang kerjaku yang sumpek, meskipun disana semua fasilitas kudapatkan dengan mudah. Apa gunanya pergi kalau semua sudah berjalan dengan baik. Perusahaan Ayah masih melesat dijajaran top perusahaan dinegara ini, membuatku disini, memandang nasib yang sangat jelas didepan sana.
Jam 3 pagi ini aku berhasil lagi bangun dari tidur lelapku. Mengetuk pintu rumahNya sebentar, lalu teringat pekerjaan biasa yang menunggu untuk diselesaikan. Ibu sudah terlalu tua untuk menjalankan kerja berat ini, kulitnya keriput dengan muka lelah yang memancarkan perjuangan. Tak perlu lagi lah Wonder woman. Karena yang kulihat sekarang wanita sejati lebih dari apa yang orang bicarakan.
Brak!!!…Kupukul keras meja kerjaku, satu dua kepala bermunculan dari cubicle mereka masing-masing. Mencoba menenangkanku. Ah masalah ini terlalu penat untuk kusanggah sendiri. Belum juga bulan purnama berganti, kebahagiaan yang baru saja kurasakan tiba-tiba menghilang…begitu saja.
Senyumnya renyah sekali, seolah-olah Tanggamus sebesar itu baru saja dipindahkan Tuhan dari pundak ringkihnya, Pakaiannya hitam, kulitnya hitam, sepatunya pun hitam. Kutaksir harga sepatunya hanya 10 ribu rupiah, berbahan plastic campuran pula. Tiap pagi selalu seperti itu, tepat setelah sinar matahari mencuri-curi masuk diantara dahan pohon kelapa.
Wah aku terlambat lagi…Weker sialan ini mulai bermain-main denganku, kadang hidup kadang mati. Padahal baru saja alkaline yang kubeli ditoko waralaba diujung gang kupasangkan dengannya. Ah terlambat 10 menit dijalanan Jakarta sama dengan terlambat satu jam masuk kekantor, ntah apalagi alasanku kali ini. Sebulan terakhir selalu begini, tak perlu ke psikiater untuk tau bahwa insomnia sedang bersahabat denganku. Praktis diatas jam 3 aku bisa beristirahat meskipun mata sudah kupejamkan sejak hari belum berganti. Dan tak ada yang bisa kusalahkan selain weker sialan ini.